Kamis, 26 Mei 2011

REFLEKSI PERTEMUAN TERAKHIR PERKULIAHAN FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA

Perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika oleh Dr. Marsigit, MA
Tanggal 26 Mei 2011


Seperti pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, perkuliahan filsafat pendidikan Matematika hari ini diawali oleh test jawab singkat oleh Pak Marsigit. Dan mengingat perkuliahan selama ini yang selalu diawali dengan test jawab singkat saya rasa memang sangat bermanfaat bagi kami (mahasiswa), untuk menambah pengetahuan kami. Banyak hal yang kemudian saya ketahui setelah mengikuti test jawab singkat ini. Meskipun dulu saya pernah mengeluh karena sulitnya test jawab singkat ini, tetapi saya selalu mengingat kata-kata dari pak Marsigit bahwa semua itu yang akan menyadarkan kita betapa ilmu yang kita miliki belum seberapa, masih banyak hal yang harus saya pelajari lagi. Dan menurut beliau pula, hal ini secara tidak langsung menghindarkan diri kita terhadap kesombongan akan sesuatu yang kita miliki. Secara pribadi, test jawab singkat ini menambah motivasi saya untuk belajar lebih banyak lagi. Sekali lagi saya sangat setuju dengan pendapat Pak Marsigit bahwa motivasi siswa dengan sendirinya akan timbul selama proses belajar, dan itu tergantung bagaimana pembelajaran yang dihadapi siswa itu. Jadi menurut saya pembelajaran yang dilaksanakan Pak Marsigit selama perkuliahan filsafat pendidikan Matematika telah berhasil untuk meningkatkan motivasi siswa dalam belajar.

Berbicara mengenai perkuliahan filsafat pendidikan Matematika, tidak akan lepas pula untuk membicarakan mengenai beberapa elegi yang telah ditulis oleh Pak Marsigit. Karena memang beberapa elegi yang ditulis dalam blog beliau lah yang menjadi salah satu fasilitas bagi kami untuk belajar, memberikan pendapat, menjawab dari beberapa pertanyaan, dan disitu pula kami belajar untuk menghargai pendapat orang lain. Hari ini, tanggal 26 Mei 2011, Pak Marsigit memberikan beberapa nasihat dan saran kepada kami (mahasiswa) dalam memberi komentar atas elegi-elegi yang beliau tulis. Antara lain:
1. Dalam membaca elegi sebaiknya dilandasi dengan keikhlasan. Sehingga ketika kita memberikan komentar, bukan semata-mata menulis sembarang komentar, tetapi komentar yang kita tulis memanglah sesuai dengan esensi bacaan tersebut.
2. Dalam memberikan komentar, sebaiknya kita benar-benar mengerti dan memahami benar apa yang akan kita beri komentar. Dan ini berarti kita harus benar-benar membaca elegi itu sehingga esensi dari apa yang kita baca dapat kita mengerti. Pada akhirnya komentar yang kita berikan memang sesuai dengan inti permasalahan yang kita baca.
Contohnya ketika kita membaca elegi tentang permohonan maaf karena tidak menyebutkan gelar, dan hanya langsung menyebut nama saja, itu sebaiknya memang dijelaskan pendapat kita mengenai alasan mengapa demikian.
Filsafat sering kita kaitkan pula dengan kata “hakekat”. Tidaklah mudah bagi seseorang untuk berbicara mengenai hakekat. Seseorang yang bisa dibilang pakar suatu ilmu saja masih sangat berhati-hati jika berbicara masalah hakekat, apalagi orang yang secara kasarnya bisa di bilang “baru mulai belajar”. Jika setiap orang hanya berbicara pada dimensi yang ada di bawah mereka masing-masing terhadap ruang dan waktu, maka orang-orang itu tidaklah santun. Dan jika ada seseorang yang berbicara pada dimensi di atasnya, maka seseorang itu harus berhati-hati, dan jangan sampai lancang terhadap orang yang dia ajak bicara. Dan dalam berfilsafat, permasalahan seperti ini bisa kita katakan bahwa segala sesuatu itu membutuhkan penjelasan. Dan bagaiman kita menempatkan diri kita sendi belajar ri dalam ruang dan waktu yang kita hadapi.

Berfilsafat dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan Matematika, berarti kita harus mengerti obyek yang dipelajari. Yaitu yang ada dan yang mungkin ada dalam pendidikan Matematika. Dan kita harus tahu bahwa obyek Matematika itu bersifat dinamik bukan statis, dan berubah seiring berjalannya waktu. Trajectory of Learning Mathematics yang dikembangkan oleh PMRI sangat bagus digunakan dalam pembelajaran Matematika di sekolah. Konstruktivis pikiran siswa akan terbentuk, dan siswa tidak hanya mengikuti mitos-mitos yang selama ini ada. Jika kita melihat dunia pendidikan di Indonesia secara luas, maka kita akan menemukan beberapa hal memang sebaiknya masih perlu pembenahan.

Dan berbicara masalah pembenahan, tidak ada salahnya jika kita mengaitkannya dengan pendididkan karakter. Pendidikan karakter yang paling tinggi adalah komunikasi melalui dimensi normatif dan spiritual. Seperti yang pernah diungkapkan oleh pak Marsigit bahwa prinsip-prinsip dasar pengembangan pendidikan karakter dalam pendidikan matematika meliputi berbagai proses yang secara hirarkhis merentang mulai dari kesadaran diri dan lingkungan, perhatian, rasa senang dan rasa membutuhkan disertai dengan harapan ingin mengetahui, memiliki dan menerapkannya, merasa perlunya memunyai sikap yang selaras dan harmoni dengan keadaan di sekitarnya, baik dalam keadaan pasif maupun aktif, serta mengembangkannya dalam bentuk tindakan dan perilaku berkarakter; merasa perlunya disertai usaha untuk mencari informasi dan pengetahuan tentang karakter dan karakter dalam matematika, yang dianggap baik, mengembangkan keterampilan menunjukan sifat, sikap dan perilaku berkarakter dalam pendidikan matematika, serta keinginan dan terwujudnya pengalaman mengembangkan hidupnya dalam bentuk aktualisasi diri berkarakter dalam pendidikan matematika, baik secara sendiri, bersama atau pun dalam jejaring sistemik. Itulah sekilas mengenai pendidikan karakter dalam pendidikan matematika, dan kita tetap berharap bahwa implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika dapat memberikan kontribusinya pada bangsa Indonesia ini melalui inovasi pembelajran matematika yang dilakukan secara terusmenerus baik secara instrinsik, ekstrinsik, atau sistemik.
Dalam berfilsafat, hal yang bisa dikatakan berbahaya yaitu jika berfikir parsial, dengan contohnya penjelasan mengenai transformasi dunia. Selain itu juga mengenai transformasi spiritual. Jika kita bertanya dalam diri kita sendiri, mampukah kita memikirkan perjalanan dari dunia ke akhirat? Mungkin itu sebagai salah satu contohnya, dan masih banyak contoh yang lain. Dalam dunia spiritual, sebenarnya semua manusia di dunia itu sama dalam hal sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya yaitu tingkta keimanan, ketaqwaan dan keikhlasannya.

Kembali pada ilmu Matematika yang ada kaitannya dengan penerapan dlam kehidupan sehari-hari. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut:
1. ax2 + bx + c = 0
ax2, ketika kita menemukan satu suku ini, maka kita hanya fokus dalam hal ini saja.
ax2+bx, ketika kita menghadapi persoalan ini kita sudah fokus ke bx, tetapi masih memikirkan ax2.
ax2 + bx + c = 0, ketika kita menghadapi persoalan ini kita sudah fokus ke +c=0 , tetapi masih memikirkan ax2+bx.
Mengutip kata-kata dari Pak Marsigit bahwa vitalitas dari subjek matematika dengan potensi lebih besar akan mengukuhkan dirinya tetap bertahan sebagai subjek, sedangkan vitalitas dari subjek dengan potensi lebih kecil akan menggeser peran subjek dirinya menjadi peran objek bagi subjeknya. Intuisi two-oneness akan membantu subjek matematika untuk memahami objek matematika.
2. A/∞=0 , A adalah semua bilangan real.
A, menunjukkan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa yang telah kita perbuat.
∞ , menunjukkan bahwa meminta maaf dan memohon ampun secara terus menerus dan sebanyak-benyaknya.
0, menunjukkan keadaan suci.
A/∞=0, dan maksud dari persamaan ini adalah jika seseorang yang telah melakukan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa yang sekian banyaknya dan kemudian dia meminta maaf dan memohon ampun secara terus menerus dan sebesar-besarnya kepada Tuhan, maka Tuhan akan memaafkan segala kesalahannya sehingga dia akan kembali dalam keadaan yang suci.
3. x^0=1
Maksud dari persamaan ini adalah jika setiap orang itu selalu melandasi hatinya dengan keikhlasan, maka semuanya akan kembali kepada keesaan Tuhan.
Mungkin itu hanya beberapa contoh saja, dan sebenarnya masih banyak hal lain yang bisa kita hubungka dalam kehidupan sehari-hari dan bahkan dalam dunia spiritual. Semua itu akan kembali kepada diri kita mengenai seberapa jauhkah kita bisa memanfaatkan perspektif filsafat dalam dunia pendidikan Matematika.

Kemudian timbul pertanyaan dalam benak kita, apakah berarti siswa SMA pun sebaiknya mendapat materi pelajaran filsafat? Sebenarnya tidak harus seperti itu, tetapi secara tidak langsung siswa-siswa tersebut telah diajarkan aspek-aspek yang terkandung dalam filsafat. Sehakiki-hakikinya filsafat belajar Matematika adalah jika pada akhirnya siswa itulah sebagai Matematika. Dan perlu kita ingat, apapun tingkatannya, baik TK, SD, SMP, maupun SMA, belajar Matematika berarti sebagai researcher. Mereka boleh dikatakan sebagai researcher tetapi bagi level dan dimensi mereka masing-masing. Dan agar bisa lebih efektif, paradigma yang sangat menunjang adalah constructivis yaitu membangun kemampuan Matematikanya, dan itu adalah siswa itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar